Seminggu terakhir ini adalah hari-hari yang berat bagi dunia
pertesisan, tesis ku. Semenjak seminar proposal Mei lalu, aku baru konsultasi
ke dosbing kembali baru awal september lalu. Hal ini jadi pertanyaan bagi
dosbing, orang tua dan aku sendiri “kenapa lama banget baru bimbingan lagi?”
jawabannya waktu itu memang mendekati libur dan bulan Ramadhan jadi gak punya
niat yang kuat untuk kembali ke kampus dan berdiskusi, terlebih masukan-masukan
yang sedikit membingungkan (bingung banyak sih) harus dimulai darimana. Aah berat
memang rasanya apalagi cuma dipikirin terus tapi ga dikerjain kan.
Bimbingan ke dosbing
1 di Bulan september Alhamdulillah lancar dan tidak sulit. Namun untuk dosbing
2 susah untuk mencocokkan jadwal beliau karena kesibukan penelitian dan
pengabdian masyarakat. Untuk 3 dosen lainnya entahlah aku sudah feeling sangat
sulit hanya untuk bertemu dan berdiskusi. Terbukti dosen yang rumahnya 1
komplek dengan kosan ku aja sulit banget untuk ditemui, jangankan bertemu membalas
pesan aja enggak. Duh bapak~
Tadi siang baru bimbingan kembali dengan dosbing 2, setelah
mulai janjian dari akhir bulan September lalu. Ketidaksinkronan ide antar
pembimbing jadi bikin sedikit blue dan melow, selama masa kuliah, ini adalah
kali kedua nangis di depan dosen, yang dulu bukan karena tugas akhir sih tapi tugas
besar semester 4 yang bikin ga belajar buat UAS dan berakhir dengan nilai 1
mata kuliah itu amburadul, bukan cengeng dan minta perhatian tapi memang hanya bisa
mencurahkan emosi yang meluap dengan begitu, menangis. Lega ? enggak, lega mah
kalo udah pake toga hijau neon itu, tapi setidaknya dosen tahu apa yang aku
rasain (gitu sih harapannya), “korban” perbedaan ide dan sempat dibilang “pengadu
domba” karena miss komunikasi. Gini amat sih nasib akhir kuliah ku yaa.
Aku jadi merindukan tugas akhir partner-an, susah, senang, nangis, down, semangat, bangkit ada
temennya, ada orang yang ngerasain hal yang sama, ada yang saling menguatkan. Sekarang
ga mikir kapan wisuda yang penting lulus aja dulu wisuda mah selebrasinya. Desperate banget yaa.
Kalau cerita mahasiswa tingkat akhir hanya berapa persen lah
penuh dengan yang manis-manis selebihnya dipenuhi do’a dan zikir, keluhan, rasa
eneg, air mata, hilang semangat dan down.
Kata-kata “semangat yaaa!” udah ga mempan lagi jadi semacam
antibiotik mental. Doa terus sama ketegaran hati sih yang sekarang lagi
dipupuk.
Source |